SEX SELECTION DAN PROBLEMA ETIKA YANG TERMUAT DI DALAMNYA

  1. A.     Pendahuluan

Perkembangan teknologi rekayasa genetika telah “men-Tuhankan” manusia, perkembangan teknologi rekayasa genetika telah mengantarkan manusia pada tingkat mendesain dan menentukan faktisitas ketubuhan manusia. Faktisitas yang dimaksud di sini adalah sebuah bentuk determinasi atas kontrol genetik calon manusia atas bentuk ketubuhannya. Faktisitas ketubuhan yang sebelumnya merupakan hasil kombinasi acak-logis dari gen – gen yang saling bertemu, sekarang bisa didesain dengan sengaja untuk mendapatkan manusia dengan ketubuhan dan jenis kelamin yang dikendaki. Teknologi rekayasa genetika yang berkembang cukup pesat saat ini adalah rekayasa genetika yang berhubungan dengan teknologi reproduksi buatan. Teknologi reproduksi buatan adalah sebuah teknologi yang memungkinkan manusia untuk melakukan proses mendapatkan keturunan tanpa adanya coitus , tetapi dengan menyatukan sel – sel yang akhirnya bisa menghasilkan zigot. Dan salah satu bentuk pengaplikasian dari teknologi ini adalah sex-selection.

Sex- selection  pada fungsi awalnya adalah sebuah teknologi yang berguna untuk membantu lahirnya bayi tanpa cacat bawaan yang  terpaut pada kromosom Y ,di mana  kromosom Y akan diganti dengan kromosom X sehingga menghasilkan bayi perempuan yang tidak memiliki potensi cacat bawaan. Rekayasa genetika (sex-selection termasuk di dalamnya) muncul dengan didasari keinginan untuk menciptakan kesejahteraan manusia sendiri, namun pada perkembangannya muncul problem etis ketika azas kepentingan mulai menginvasi teknologi rekayasa genetika. Sex-selection kemudian dapat dimanfaatkan untuk pemuas arogansi atas jenis kelamin tertentu, arogansi atas stigma adanya hierarki dalam jenis kelamin manusia. Sex-selection dijadikan alat ekspansi superioritas jenis kelamin. Implikasinya adalah, muncul berbagai macam problematika etis, ketika manusia memiliki kemampuan untuk merekayasa dan menentukan faktisitas calon manusia yang akan menjadi anaknya. Di sini akan muncul pertanyaan apakah etis seseorang (orang-tua) menentukan faktisitas ketubuhan orang lain (anaknya) dengan sengaja?, faktor budaya primordial yang patriarki menjadi permasalahan serius dalam sex-selection, pandangan adanya hierarki atas jenis kelamin harus segera dinetralisir dengan rasionalitas, esensi dari eksistensi manusia juga menjadi hal yang perlu dikaji berkenaan dengan adanya esensi yang bersifat artifisial akibat dari eksistensi yang telah ditentukan dengan sengaja faktisitasnya.

Untuk itulah penulis mengangkat kasus sex-selection sebagai sarana refleksi kritis atas problema etis yang kompleks berada dalam kehidupan sosial-budaya manusia. Benturan etis , benturan moral, yang muncul dalam bentuk dilema, biasanya muncul akibat dari adanya benturan nilai, norma, yang di mana tidak dapat dipisahkan dari  keyakinan individu yang menganutnya masing-masing, dan akibat dari benturan etis tersebut akan memunculkan konflik nilai sehingga perlu mendapatkan sebuah kontemplasi khusus yang akan diteropong melalui lensa etika terapan.

  1. B.      Kasus

Kasus yang akan diangkat mengenai sex-selection ini adalah kasus yang merupakan kasus yang bersifat ilustratif. Walaupun bersifat ilustratif, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa kasus ini dapat benar-benar terjadi, karena perkembangan pola pikir dan teknologi yang turut mengimbangi kebutuhan manusia. Berikut kasus ilustratif mengenai sex-selection :

Pada tahun 2012, di Jakarta, Indonesia, terdapat sepasang suami istri, Hendrawan dan Sulistiawati, yang setelah menjalani pemeriksaan laboratorium bahwa sang istri hanya bisa melahirkan satu kali saja seumur hidup dikarenakan kondisi rahim yang tidak memungkinkan untuk hamil lebih dari satu kali. Hendrawan adalah seorang keturunan Jawa ningrat yang sangat mengagungkan superioritas laki-laki, sehingga ia sangat menginginkan agar anaknya kelak adalah harus laki – laki. Di satu sisi, sang istri merupakan perempuan berdarah minang yang sangat menginginkan anak perempuan. Pada saat itu teknologi rekayasa genetika telah mencapai tahap kemampuan dalam menciptakan reproduksi buatan, salah satunya adalah sex-selection, yaitu sebuah upaya dan prosedur pemilihan jenis kelamin dalam rangkaian teknologi reproduksi buatan. Pertentangan antara pasangan suami istri ini tidak bisa dielakkan. Sang dokter yang berwenangpun tidak bisa mengambil keputusan karena keduanya belum dapat mencapai kesepakatan.”

C.      Konflik nilai

Konflik nilai yang muncul dalam kasus ini adalah :

1.    Pembatasan hak orang tua terhadap anaknya, sejauh mana orang tua mempunyai hak atas eksistensi dan esensi anaknya, apakah hak penuh atau bukan, atau bahkan tidak punya hak.

2.    Pertentangan antara pandangan budaya patriarki atas adanya hierarki dalam peran jenis kelamin laki-laki/perempuan dan nilai HAM calon bayi itu sendiri.

3.    Kode etik dokter yang akan melakukan usaha-usaha untuk mengambil jalan terbaik menurut pertimbangannya akan “menyelamatkan” pasien pantaskah diterapkan dalam sex-selection  mengingat pilihan dokter untuk melakukan ­sex-selection akan berhubungan dengan “keselamatan” (tidak hanya fisik saja) dari calon bayi selama seumur hidup bayi tersebut.

D.     Perumusan Masalah

Dari kasus sex-selection maka perumusan masalah yang diangkat adalah :

1.     Apakah etis jika seseorang calon manusia (calon bayi) tersebut, sebelum hadir di dunia, telah ditentukan faktisitasnya oleh kedua orang tuanya?, mengingat tanpa sex-selection pun calon bayi itu sendiri memang tidak bisa menentukan jenis kelaminnya sendiri, dia akan terjerat faktisitas juga pada akhirnya, namun apakah orang tua memiliki hak untuk mencampuri faktisitas calon anaknya dengan faktor kesengajaan, di antara suami dan istri, apakah memang ada yang lebih pantas untuk menentukan jenis kelamin anaknya? Jika ada, kenapa?.

2.     Apakah memang bahwa peran sebagai laki-laki atau perempuan adalah sebuah hiearki dalam kehidupan, sehingga harus dipilih yang terbaik untuk calon anaknya?

3.     Dan bagaimana posisi seorang dokter di sini, apakah dokter pantas memenuhi permintaan sex-selection, mengingat sex-selection ini akan berdampak seumur hidup bagi si bayi?.

4.    Apakah manusia yang baru berwujud calon bayi (masih dalam rencana) memiliki hak dalam penilaian ketentuan HAM ?

5.    Apakah manusia benar-benar murni dapat menciptakan esensi dan eksistensinya sendiri, mengingat dia tidak akan terlepas dari faktor luar yang membentuknya termasuk orang tuanya ? dan seperti apakah eksistensi dan esensi yang terbentuk secara etis dan manusiawi bagi seorang manusia?

E.      Tujuan

Tujuan dari pengangkatan kasus ini adalah :

1.    Memperlihatkan bahwa campur tangan manusia dalam menentukan faktisitas ketubuhan seseorang mengakibatkan terciptanya potensi eksistensi dan esensi buatan dalam diri seseorang.

2.     Menjelaskan bahwa tidak ada hierarki antara laki-laki dan perempuan.

3.    Merefleksikan ulang kode etik kedokteran.

4.    Ingin mengangkat hak azasi dari manusia (HAM) dari manusia yang berada dalam tahap masih sebagai calon bayi.

F.       Metoda

Metoda yang digunakan dalam menyajikan makalah kasus ini adalah dengan bentuk Philosophical Discourse, yaitu naratif secara filosofis yang memuat kebenaran etis yang bersifat dugaan estimasi yang logis. Teori filsuf yang diangkat adalah eksistensialisme dari Sartre, feminisme dari Luce Irigaray, Etika Utilitarianisme Jeremy Bentham. Metoda didukung dengan kajian kepustakaan, berupa penelusuran dari bahan monogram dan literature elektronik.

G.     Thesis Statement

Thesis Statement untuk kasus ini adalah sex-selection tidak dapat dilakukan secara bebas, sex-selection dapat dilakukan dalam kondisi tertentu tetapi dengan aturan-aturan dan ketentuan tertentu yang ketat. Contoh : adanya penyakit keturunan terpaut kromosom.

H.     Argumentasi

Benturan etis, benturan moral, yang muncul dalam bentuk dilemma disebabkan ketika nilai – nilai berbenturan. Dalam kasus ini muncul benturan etis, yaitu apakah orang tua adalah pemilik mutlak terhadap anaknya secara keseluruhan sehingga bisa mengatur bahkan menentukan jenis kelamin anaknya melalui sex-selection. Di sisi lain apakah orang tua hanyalah  dipandang sebagai pengasuh, pengasuh yang harus bertanggungjawab karena anak tersebut lahir di dalam pernikahan mereka. Orang tua juga memiliki porsinya dalam menentukan anaknya, tetapi tidak dalam seluruh porsi, ada batasan-batasan tertentu, tetapi tidak melupakan bahwa kelak anaknya harus siap dengan dirinya yang telah dirancang orang tuanya, sehingga ada masa si anak harus diberi ruang untuk menciptakan esensinya.

Penggunaan sex-selection dengan tujuan bukan untuk menghindari penyakit bawaan, dapat disebut sebagai kejahatan kemanusiaan jika tidak dibarengi dengan perlakuan yang sesuai. Dalam kasus yang dipaparkan di atas, permasalahan yang muncul berawal dari adanya faktor budaya. Baik sang suami maupun sang istri dilatar- belakangi dan dibentuk oleh faktor budaya masing-masing, di mana dalam nilai budaya sang suami, laki-laki memiliki superioritas dan dianggap lebih baik, sehingga laki-laki menjadi perhatian dan prioritas utama (patriarki), sedangkan dari sisi istri, perempuan bukanlah peran yang merupakan sub-level di bawah laki-laki.

Dalam kasus ini titik tolak utama permasalahan berada dalam pandangan sosial-budaya yang masih dipengaruhi oleh nuansa patriarkal, jenis kelamin masih dianggap mempengaruhi power and status. Hal tersebut  merupakan permasalahan klasik yang terjadi dari ratusan tahun yang lalu. Permasalahan mengenai gender telah menimbulkan berbagai diskriminasi dan pandangan yang mengkerdilkan perempuan. Ketika seorang anak telah ditentukan dengan sengaja jenis kelaminnya oleh orang tuanya, maka dalam kelanjutan dalam tahap berikutnya anak tersebut akan dipenuhi tuntutan-tuntutan peran sosial yang telah dibentuk oleh masyarakat, struktur dirinya tidak lain adalah struktur tuntutan buatan dari masyarakat Dengan telah ditentukan jenis kelamin calon bayi tersebut dari sebelum lahir, maka bayi tersebut dapat dibilang telah kehilangan dirinya sejak awal, keberadaan bayi tersebut sama dengan omong kosong, karena bayi tersebut tidak lain adalah sebuah realisasi dari proyeksi keinginan orang tua. Eksistensi mendahului esensi yang diutarakan oleh Sartre, telah tidak berlaku lagi dalam hal ini, karena eksistensi yang akan muncul dari calon bayi tersebut bukanlah sebuah eksistensi dari manusia, eksistensinya hanya ada secara fisik, manusia yang lahir tersebut adalah eksistensi yang dirancang oleh orang lain, manusia hasil pemprograman semata, dia tidak dapat memprogram dirinya sendiri. Kebebasan yang dia punya, dari sebelum lahir telah direnggut oleh orang tuanya sendiri. Ketika eksistensi sudah merupakan hasil pemrograman, maka esensi yang terbentuk adalah hasil pemrograman tingkat lanjutan. Calon manusia ini telah dipilihkan ketubuhannya oleh manusia lain, benarlah pernyataan Sartre, manusia adalah neraka bagi manusia lain.

Isu gender adalah faktor yang paling kuat mempengaruhi dalam sex-selection  (yang bukan karena alasan kesehatan). Untuk itulah perlu adanya rekontruksi ulang arti dan peran dalam gender. Inilah yang diangkat oleh Luce Irigaray, seorang feminis. Luce Irigaray mengritik rasio pencerahan. Menurutnya rasionalitas pencerahan tidak berlaku bagi perempuan karena ia meremehkan elemen-elemen non-rasional dalam pikiran manusia, demikian juga kehendaknya untuk berkuasa, mengontrol, memanipulasi dan menghancurkan atas nama yang rasional itu. Cara berpikir Pencerahan bersifat khas laki-laki. Kritik terhadap rasionalitas yang bersifat laki-laki ini, bagi Irigaray, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengunggulkan irasionalitas perempuan. Melainkan semata hendak menunjukkan bahwa rasionalitas itu memiliki struktur tertentu, yakni prinsip identitas, prinsip nonkontradiksi (A adalah A, A bukan B) yang menyingkirkan ambiguitas dan ambivalensi, dan binerisme (oposisi alam/rasio, subjek/objek).

Irigaray menekankan pentingnya perbedaan seksual sebagai landasan etis dalam membangun relasi antara laki-laki dan perempuan. Tujuan Irigaray ini tidak lain adalah usaha membangun countersystem yang bersifat khas feminin untuk membuka ruang bangkitnya identitas seksual yang positif bagi perempuan sekaligus membangun relasi subjektif “To Be Two” antara lelaki dan perempuan.

Berbeda dengan gerakan feminis pertama, Irigaray mengajukan konsep perbedaan seksual sebagai basis pembebasan perempuan disebabkan kenyataan realitas konkrit keterpinggiran kaum perempuan, bukan hanya akibat dominasi bahasa patriarkis melainkan juga oleh berbagai slogan yang mengatasnamakan kesetaraan lelaki-perempuan dan slogan kenetralan dalam klausul berbagai konvensi dan perundang-undangan. Karena itulah perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan berarti harus ada penyataraan, tetapi adanya pemahaman dan penghargaan atas kehadiran masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga jika dalam sex-selection terjadi mengunggulkan jenis kelamin laki-laki, itu berarti merupakan sebuah kejahatan moral, karena telah membunuh kemungkinan lahirnya perempuan. Secara tidak langsung itu adalah pembunuhan perempuan.

Di sisi lain, adanya sex-selection (yang bukan dilatarbelakangi alasan kesehatan) patut dipertanyakan dari sisi Hak Azazi Manusia. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah apakah hak azazi manusia berlaku pada manusia yang bahkan belum ada, manusia yang masih berupa rencana menjadi manusia. Dalam Deklarasi HAM PBB 1948, tidak disebutkan secara eksplisit mengenai adanya perlindungan terhadap hak azazi calon manusia. Dalam Deklarasi HAM PBB 1948, yang tercantum adalah Pasal 3 yaitu setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu, namun di sini tidak ada definisi individu secara jelas, individu yang termaksud lebih menuju kepada individu yang bersifat telah lahir. Di sinilah permasalahannya, Deklarasi HAM PBB, harus memberikan definisi yang lebih spesifik lagi mengenai yang dimaksud sebagai individu, calon individu pun seharusnya juga mendapat perlindungan HAM atas kebebasannya untuk menentukan dirinya secara alamiah, karena sex-selection pun sebenarnya juga merupakan pembunuhan, pembunuhan atas kesempatan hidup individu dengan jenis kelamin tertentu. Logikanya, ketika dalam proses persatuan sperma dan ovum, secara normal (walau acak) akan ada kesempatan lahir antara laki-laki dan perempuan, jika sudah ditentukan yang akan dipertemukan adalah sperma yang membawa kromosom Y dan bertemu dengan kromosom X pada ovum, maka zigot yang akan berkembang akan menjadi laki-laki, itu berarti sex-selection telah melakukan pembunuhan “kesempatan” atas calon bayi perempuan, perampasan hak hidup calon manusia perempuan. Karena jika dibiarkan secara alami, maka kesempatan bayi perempuan yang hidup akan tetap ada, dengan sex –selection kesempatan itu dibunuh.

Etika utilitarianisme John Stuart Mill mengambil peran di sini, yaitu pada poin kebahagiaan pelaku tidaklah diunggulkan dan menjadi prioritas utama, tapi dampak kebahagiaan bagi orang yang terkena dampak prilaku dan sebisa mungkin dampaknya untuk orang lain dalam jumlah lebih besar, mungkin jika dilihat sebagai kasus tunggal dampaknya hanya akan diderita oleh satu anak, tapi jika seandainya kasus ini terjadi dibanyak tempat dan di banyak waktu, berapa ratus ribu jiwa manusia yang akan menderita karena menjadi manusia yang terjadi hasil rekayasa, eksistensi dan esendi yang telah dirancang bukan oleh dirinya sendiri, di sinilah kebahagiaan orang tua yang akan melakukan sex-selection bukanlah pertimbangan utama dari keputusan untuk melakukan sex-selection, tetapi pada pertimbangan apakah calon anak tersebut akan bisa bahagia nantinya jika  faktisitas dari tubuhnya merupakan rekayasa dari orang tuanya, ketika dari sebelum lahir dia telah ditentukan oleh orangtuanya, maka sepanjang hidupnya, orang tuanya tidak akan pernah lepas untuk mengatur semua hidupnya, karena orangtuanya menganggap mereka lah yang memberi hidup pada anaknya, sehingga anaknya adalah milik mereka seutuhnya, anaknya tidak memiliki hak atas dirinya, apakah ini bisa disebut kebahagiaan untuk si anak, anak yang bahkan eksistensinya telah direkayasa, dan esensinya telah dirancang pula oleh orang tuanya. Di sinilah mengorbankan kebahagian sendiri bagi kebahagiaan orang lain dari John Stuart Mill harus diaplikasikan, orang tua harus bisa mengorbankan kepentingan mereka untuk mengunggulkan suatu jenis kelamin tertentu bagi anaknya, demi kebahagiaan anaknya sendiri, demi kebahagiaan eksistensi anaknya. Dari sebelum lahir, sebenarnya, calon anaknya telah memiliki pilihan bahagianya sendiri (secara acak), yaitu, apakah yang ingin bertemu kromosom X dan X , atau X dan Y. Walaupun hal ini merupakan hal yang bersifat acak, namun di sinilah terlihat apakah orang tua akan bisa memberikan kebebebasan kepada anaknya atau tidak.

Dalam pelaksanaan sex-selection pasti tidak akan terlepas dari campur tangan dokter, Dalam kode etik kedokteran, tercantum bahwa dokter dipersilahkan melakukan dan bahkan harus melakukan tindakan yang terbaik menurut pertimbangannya akan berdampak menyelamatkan kondisi pasiennya. Dalam kode etik ini, tampaknya yang ditekankan adalah bagaimana penyelamatan pasien seketika itu juga, untuk menyelamatkan kehidupan pasien, tanpa ada pertimbangan hidup dengan kualitas yang seperti apa. Dalam kasus ini, calon bayi lah yang menjadi pasiennya, karena calon bayi ini yang mendapat penanganan dari dokter. Pada dasarnya, dokter sendiri tidak bisa menjamin “keselamatan” (baca :kehidupan berkualitas) sang anak nantinya, karena penanganan calon bayi tersebut merupakan tanggung jawab yang agak berbeda dengan pengobatan penyakit, dokter di sini terlibat dalam rekayasa bentuk kehidupan, apakah dokter tersebut dapat menjamin kualitas kehidupan bayi itu nantinya, itu patut dipertanyakan. Jadi harus dihindari praktik sex-selection sex-selection yang ternyata tidak mempertimbangkan kualitas hidup sang bayi nantinya, karena melalui sex-selection kebebasan eksistensinya telah direnggut terlebih dahulu. Jika sex-selection diperbolehkan secara bebas, sex-selection hanya akan menjadi industrialisasi di dunia kedokteran, karena akan menjadi semakin marak, dan chaos yang lebih banyak akan muncul. Apalagi dalam dunia medis, tanpa bukti-bukti yang kuat tindakan medis tidak dapat dilakukan kecuali alasan yang penting dan mengancam jiwa, seperti itulah sex-selection, sex-selection yang bukan dikarenakan penyakit turunan (bersifat hereditas) tidak bisa dilakukan secara bebas. Dalam dunia kedokteran harus diingat bahwa suatu tindakan belum tentu selalu baik,  perlu senantiasa dikritisi dan dicari alternatif yang lebih baik, melalui proses yang adil, tiada keberpihakkan pada kepentingan siapapun, semua murni demi pasien (dalam kasus ini adalah calon bayi).

I.        Alternatif Solusi

Maka dari tinjauan kasus dan argumen-argumen yang dikemukakan, maka penulis mengajukan alternatif solusi sebagai berikut :

1.    Sex-selection secara rekayasa genetika hanya dapat dilakukan untuk kepentingan menghindari penyakit turunan dan dilakukan dengan aturan khusus dan ketentuan khusus yang resmi dari dunia kedokteran.

2.    Adanya program pembekalan secara intensif, baik oleh media maupun tokoh-tokoh terpelajar, termasuk kelompok medis, kepada masyarakat mengenai rekonstruksi pemikiran tentang Gender dan tidak ada hiearki status dan power dalam lingkungan sosial antara perempuan dan laki-laki. Dengan adanya pemahaman seperti ini, maka nilai-nilai kemanusiaan tidak akan dikontrol oleh keegoisan nilai dan norma budaya patriarki.

3.    Adanya penyusunan definisi ulang mengenai HAM dalam Deklarasi HAM PBB mengenai definisi individu, harus ada perlindungan terhadap calon individu yang akan lahir, mengingat kondisi teknologi yang telah sangat maju, yang mampu merampas hak manusia yang berlum lahir ke dunia, dan hak calon manusia tersebut juga harus dilindungi.

4.    Adanya penjelasan dan penyusunan kembali kode etik kedokteran mengenai praktek-praktek khusus rekayasa genetika seperti sex-selection karena kode etik harus ikut disesuaikan dengan perkembangan teknologi dalam dunia kedoteran itu sendiri untuk menghindari adanya pemanfaatan untuk kepentingan tertentu yang dapat memicu chaos baik secara langsung atau akumulatif di saat – saat tertentu.

J.        Refleksi Kritis

Refleksi kritis dari kasus sex-selection  ini adalah perefleksian kembali mengenai batas-batas hak dan kewajiban orang tua dalam campur tangan dengan kehidupan anaknya, berkaitan dengan eksistensi dan esensi dari faktisitas seorang manusia dan pandangan atas hierarki jenis kelamin, serta pandangan baru mengenai hak azazi manusia yang masih berstatus calon manusia.

Orang tua tentu saja memiliki hak atas anaknya, orang tua memiliki keinginan untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya, namun terkadang keinginan yang terbaik dari orang tua pun harus ada alasan logis rasional untuk menyatakan bahwa itu adalah benar-benar sebuah keinginan yang baik. Keinginan yang dilatarbelakangi faktor budaya yang merupakan pandangan nilai tradisi yang sebenarnya realtif sebenarnya masih perlu dikaji, termasuk pandangan tradisi patriarki. Tradisi patriarki tidak dipungkiri memang memiliki nilai positif dalam beberapa hal, namun patriarki yang kemudian mengarah memarginalkan perempuan akan berdampak buruk bagi tatanan kehidupan sosial-masyarakat pada akhirnya. Perempuan akan terbatas hak-hak nya sebagai manusia, dan ini tidak manusiawi. Inilah yang perlu dikritisi dari alasan sex-selection yang berdasarkan pada nilai norma budaya.

Eksistensi dan esensi dari seorang manusia akan menjadi manusiawi jika terbentuk dan berkembang secara alamiah. Kehidupan agar teratur harus dibiarkan mencari jalannya sendiri, banyak bencana yang terjadi pada manusia dikarenakan manusia terlalu banyak campur tangan dengan alam. Begitu juga dengan kehidupan manusia, ketika manusia telah bisa ikut campur dalam menentukan kehidupan manusia lain (bayi) dalam bentuk faktisitas (keterbatasan ketubuhan) , menentukan jenis kelamin, maka itu artinya manusia telah melanggar keseimbangan alam, manusia menutup kesempatan alamiah potensi kehidupan manusia. Setiap potensi kehidupan memiliki hak nya masing-masing, begitu pula calon bayi, kesempatan untuk menjadi bayi perempuan atau laki-laki, keduanya harus diberikan kesempatan yang sama. Karena tidak ada alasan yang masuk akal untuk menutup kesempatan alamiah calon bayi dengan jenis kelamin tertentu untuk hidup. Jika itu terjadi maka itu sama dengan pembunuhan, pembunuhan calon-calon kehidupan, dengan sex –selection kesempatan itu dibunuh. Sangat etis jika membiarkan kehidupan alamiah menemukan jalannya sendiri, karena manusia sendiri adalah bagian dari alam.

Eksistensi mendahului esensi yang diutarakan oleh Sartre, telah tidak berlaku lagi dalam hal sex-selection ini, karena eksistensi yang akan muncul dari calon bayi tersebut bukanlah sebuah eksistensi dari manusia, eksistensinya hanya ada secara fisik, manusia yang lahir tersebut adalah eksistensi yang dirancang oleh orang lain, manusia hasil pemprograman semata, dia tidak dapat memprogram dirinya sendiri. Kebebasan yang dia punya, dari sebelum lahir telah direnggut oleh orang tuanya sendiri. Calon manusia ini telah dipilihkan ketubuhannya oleh manusia lain, bukan eksistensi secara alami. Eksistensi yang ada adalah eksistensi semu semata. Dengan menjadi eksistensi yang telah dirancang atau diprogram, maka kesempatannya untuk mengisi esendi dirinya sendiri secara otentik telah semakin berkurang, dirinya telah dibentuk orang lain dari awal, maka orang lain pula yang akan mengisi esensinya, dengan serangkaian aturan dan pilihan yang harus dijalani dan dipilih olehnya kelak.

Hak Azazi Manusia juga harus segera dikonstruksi ulang definisinya mengenai apa yang disebut individu manusia yang harus dilindungi haknya, dengan kemajuan teknologi, ternyata hak azazi manusia telah dapat dirampas bahkan sebelum manusia itu lahir, pembunuhan kesempatan hidup manusia dengan jenis kelamin tertentu harus segera mendapat perlindungan. Deklarasi HAM dan kode etik profesi lainnya yang berhubungan dengan manusia harus terus merevisi diri karena kemajuan teknologi memberikan peluang besar atas pelanggaran atas Hak Azazi manusia dengan cara yang baru.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bailey, Enger Ross., Eldon D. Enger., Frederick C.Ross.. 2009. Concept in Biology (thirteen edition). McGraw-Hill : New York.

 

Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia.   2002. Etika Terapan Meneropong Masalah Kehidupan Manusia Dewasa Ini. Yayasan Kota Kita : Jakarta.

 

Lips, Hilary. 2008. Sex and Gender. McGraw-Hill : New York.

 

Suseno, Franz Magnis. 1998. 13 Tokoh Etika. Penerbit Kanisius : Yogyakarta.

 

—————Deklarasi Universal –HAM PBB http://www.kontras.org. (diakses pada tanggal 6 Desember 2010, pukul 22.15)

 

—————Filsafat.kompasiana.com/2010/04/28/eksistensialismesartrean/ (diakses pada tanggal  4 Desember 2010, pukul 14.35)

 

—————http://www.knepk.litbang.depkes.go.id/knepk/download%20dokumen/artikel%20&%20paper/human%20cloning.pdf.  (diakses pada tanggal 6 Desember 2010, pukul 22.05)

 

 

—————-http://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/24/irigaray-emansipasi-perempuan-perbedaan-seksual/. (diakses pada tanggal  4 Desember 2010, pukul 14.20)

 

—————-www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/. (diakses pada tanggal 6 Desember 2010, pukul 22.20)

 

 

About donaniagaradinata

Filsafat Universitas Indonesia , 2008.
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment