Menuju Negeri Pasir Di Perbatasan Nusantara : Kampung Meos Bekwan, Raja Ampat , oleh Dona Niagara Dinata,

Dona Niagara Dinata,

Raja Ampat adalah sebuah kabupaten di Provinsi Papua Barat, sebuah kabupaten yang baru saja dimekarkan sejak 12 April 2003. Wilayah ini terletak dibagian ujung barat dari Pulau Papua atau tepatnya pada koordinat 2º25′ LU – 4º25′ LS dan 130º – 132º55′ BT. Beberapa tahun terakhir ini Raja Ampat menjadi sorotan di mata dunia terutama dalam dunia pariwisata bahari. Kekayaan lautnya menjadi bagian dari tujuan pariwisata internasional. Hal lain yang menyebabkan Raja Ampat menjadi sorotan dunia adalah keberadaan terumbu karang yang jumlahnya sangat banyak dan bervariasi. Peran penting terumbu karang ( coral reefs )  yang ada di laut Raja Ampat mengundang perhatian dunia. Potensi sumber daya terumbu karang yang dimiliki Kabupaten Raja Ampat, merupakan bagiandari ”segitiga karang dunia” (Coral Triangel) yang terdiri dari Indonesia, Filipina, Papua New Guinea, Jepang, Australia.[1] Berdasarkan hasil penelitian The Nature Conservacy tahun 2002 terungkap, dari 537 jenis karang dunia, sebanyak 75 persen di antaranya terdapat di perairan Kepulauan Raja Ampat. Di sana ditemukan pula 1.074 jenis ikan karang dan 700 jenis moluska. Bahkan, di beberapa kawasan, kondisi terumbu karang masih sangat baik dengan penutupan karang hidup mencapai 90 persen. Ini terdapat di Selat Dampier, yakni antara Pulau Waigeo dan Pulau Batanta, Kepulauan Kofiau, Kepulauan Misool Timur Selatan, dan Kepulauan Wayag. [2] Terumbu karang di Raja Ampat memliki peran penting bagi biota laut, terutam di wilayah Samudra Hindia dan Pasifik.

Dalam rangkaian Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia 2011 (K2N UI 2011) ini, Raja Ampat adalah salah satu titik yang dituju. Saya berkesempatan menjadi salah satu peserta yang memiliki daerah tugas di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, lebih tepatnya di Kampung Meos Bekwan, Distrik Kepulauan Ayau. Pemilihan titik lokasi K2N UI 2011 ini disesuaikan dengan tema yang diusung, yaitu Merekat NKRI di Pulau – Pulau Terdepan dan Perbatasan Menuju Masyarakat Mandiri. Secara georafis, Kampung Meos Bekwan-Distrik Kepulauan Ayau merupakan salah satu bagian dari wilayah pulau perbatasan yang berpenghuni. Kepulauan Ayau tersebut berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik yang langsung menghubungkan dengan negara federal Palau, di bagian utara Provinsi Papua Barat. Adapun program yang akan kami laksanakan di Kampung Meos Bekwan tersebut adalah program yang berhubungan dengan kesehatan dan kebersihan, hukum, peningkatan kreativitas serta nasionalisme, dan pemanfaatan dan maksimalisasi nilai ekonomis sumber daya alam lokal yang dikembangkan menjadi menjadi Usaha Kecil Menengah.

Perjalanan kami, tim K2N UI 2011 wilayah tugas Raja Ampat, berangkat dari Surabaya menuju Papua pada tanggal 20 Juni 2011 menggunakan pesawat sekitar pukul 11.30 WIB. Kami mendarat di bandara Domine Eduard Osok, Sorong-Papua Barat, pada pukul 07.00 WIT. Kami harus melalui Sorong terlebih dahulu untuk bisa mencapai Kabupaten Raja Ampat. Tim K2N UI 2011 wilayah Raja Ampat ini terbagi jadi dua wilayah lagi yaitu Distrik Waigeo Utara dan Kampung Meos Bekwan-Distrik Kepulauan Ayau. Perjalanan kali ini adalah pengalaman pertama saya mengunjungi daerah timur dari Indonesia. Kota Sorong ini merupakan ibukota dari Provinsi Papua Barat. Wilayah Papua di sini ternyata tetap mencerminkan multikulturalisme yang menjadi ciri Indonesia karena yang saya jumpai sepanjang perjalanan bukan hanya saudara – saudara yang berdarah asli papua, tetapi juga banyak saya jumpai saudara-saudara yang dari segi fisik bukan orang asli tanah papua, seperti dari Sumatera, Manado, Jawa, dan lain – lain. Setelah tiba di Sorong kami berangkat menuju rumah salah satu dosen dari universitas lokal untuk beristirahat menjelang jam keberangkatan menuju Raja Ampat dengan menggunakan kapal motor. Setelah beristirahat, kami melanjutkan kembali perjalanan pada pukul 14.00 WIT. Dengan menggunakan truk bak terbuka, kami menuju dermaga pelabuhan Sorong. Kapal yang akan kami tumpangi adalah Kapal Motor Ave Maria 1, yaitu sejenis kapal rakyat yang bisa manampung ratusan penumpang. Tingkat religiusitas masyarakat terlihat dalam ritual berdoa bersama yang dilakukan sebelum kapal berangkat dan setelah sampai di tempat tujuan. Ritual berdoa tersebut dilakukan dalam tata cara Protestan dan dipimpin oleh seorang pendeta di kapal. Perjalanan di tempuh dalam waktu 3 jam, dan kami tiba di dermaga Waisai, Ibukota Kabupaten Raja Ampat. Di gerbang pelabuhan tersebut tertulis, “ Selamat Datang Duta – Duta Kristus”.

Dalam rencana awal, kami akan melanjutkan perjalanan menuju Kampung Meos Bekwan pada tanggal 22 Juni dengan menggunakan speed-boat.  Akan tetapi, kondisi laut yang memasuki musim angin selatan mengakibatkan perubahan rencana. Perjalanan akan dilanjutkan pada tanggal 26 Juni menggunakan kapal perintis. Alasan penggunaan kapal perintis ini adalah ukurannya yang tidak terlalu kecil sehingga bisa menahan gelombang laut yang dikhawatirkan berbahaya. Kapal perintis ini adalah kapal yang dipergunakan rakyat untuk kebutuhan transportasi antar pulau – pulau di Raja Ampat dan juga Sorong. Karena ukurannya yang lumayan besar sehingga muatan penumpang dan barang bisa cukup banyak.

Selama di Waisai, saya mencoba beradaptasi dengan cara berkomunikasi masyarakat setempat. Masyarakat Papua di sini menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi intonasi atau dialek yang dipakai cukup berbeda dengan dialek yang sehari – hari saya pakai. Bahasa Indonesia yang digunakan bertempo cepat dan sering menggunakan singkatan – singkat dalam kata. Seperti kata ‘saya’ , yang diucapkan hanya ‘sa’. Pengetahuan mengenai pola bahasa dalam komunikasi ini mungkin bisa menjadi bekal nanti ketika kami sudah tiba di Kampung Meos Bekwan. Penduduk di Waisai sama halnya seperti di Sorong, terdiri dari berbagai etnis. Komunitas masyarakat yang muslim juga ditemukan di Waisai, rata – rata orang muslim yang ada di Waisai ini bukanlah warga asli dari etnis Papua, tapi dari para pendatang. Harga barang yang ada di Waisai ini juga relatif mahal jika dibandingkan dengan harga ada di Jakarta. Harga telur mencapai Rp 2000, Fotokopi Rp 300/halaman, Print Rp 1500/halaman, dan bahkan harga sayur kangkung satu ikat kecil bisa mencapai Rp 5000. Dari sedikit contoh tersebut mungkin bisa dikira – kira betapa biaya hidup di daerah ini cukup tinggi. Komoditas yang cukup murah adalah ikan, karena ikan bisa diperoleh dengan cukup mudah dan dalam jumlah yang besar di sini.

Kebiasaan warga Papua yang menurut saya unik adalah mereka biasa mengunyah sirih pinang di sela – sela aktivitasnya. Baik itu pegawai kantoran, pedagang, dan bahkan anak – anak di sela-sela aktivitasnya bermain. Terlalu seringnya kebiasaan itu dilakukan sehingga ada papan larangan yang saya temui bertuliskan “ Dilarang Membuang Sampah dan Ludah Pinang Di Sini”. Pinang di sini bisa temui dengan cukup mudah, baik yang masih berbentuk buah maupun yang sudah dikeringkan. Sebagai ibukota kabupaten, daerah Waisai ini sudah memiliki pembangkit tenaga listri sendiri yaitu pembangkit listrik dari tenaga diesel.

Pukul 08.00 WIT pada tanggal 26 Juni 2011, kami sudah bersiap di dermaga Waisai untuk melanjutkan perjalanan menuju titik lokasi K2N kami. Perjalanan yang kami tempuh menggunakan kapal perintis Raja Ampat 1. Perjalanan yang kami menuju Kampung Meos Bekwan diperkirakan ditempuh dalam waktu kurang lebih 24 jam. Kami menyusuri laut sepanjang pulau Waigeo, kami beranjak menuju utara dari pulau Waigeo. Dalam kapal yang menjadi catatan adalah betapa sulitnya masyarakat dalam memperoleh barang-barang pemenuhan kebutuhan. Kapal ini beraneka ragam muatan, mulai dari beras, semen, sayur dan buah, sampai perlengkapan kantor dan perabot rumah tangga seperti lemari dan kursi. Barang – barang tersebut dengan susah payah harus diangkut dari Sorong atau Waisai dengan tenaga sendiri untuk bisa sampai di tempat tujuan dan tentu dengan harga yang juga tidak murah. Pukul 02.00 WIT dini hari, kami tiba di dermaga di Kabare, Waigeo Utara, tim K2N UI 2011 yang bertugas di daerah Waigeo Utara. Setelah teman – teman kelompok Waigeo Utara turun kapal, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Kampung Meos Bekwan. Kampung Meos Bekwan ini terletak di Distrik Kepulauan Ayau, sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara pulau Waigeo.

Kapal yang kami tumpangi tiba di Distrik Kepulauan Ayau sekitar pukul  11.00 WIT. Kapal tidak bisa merapat ke Kampung Meos Bekwan yang berbentuk satu pulau karena daratan di sekitarnya adalah laut yang sangat dangkal. Kapal akhirnya berhenti di depan pulau Dorehkar, salah satu pulau yang terdekat dari pulau Meos Bekwan. Karena kapal tidak bisa merapat ke dekat pulau maka perjalanan menuju pulau Meos Bekwan akan dilanjutkan dengan speed boat. Tidak berapa lama, sekitar 15 menit, speed boat yang kami gunakan telah datang. Kami dijemput oleh aparat Distrik Kepulauan Ayau dan aparat Kampung Meos Bekwan. Sesampainya di Meos Bekwan kami disambut warga kampung dengan tetabuhan suling tambur, kesenian khas dari masyarakat Papua. Kami disambut seluruh warga kampung dari berbagai usia dengan penuh keramahan. Kami diantar menuju rumah yang sudah dipersiapkan untuk kami tinggali selama kami berada di Meos Bekwan. Menurut keterangan dari warga, rumah tersebut adalah rumah petugas kesehatan yang pernah bertugas di kampung ini.

Kesan pertama yang saya jumpai di Kampung Meos Bekwan ini adalah sebuah pulau yang tidak bertanah. Apa yang saya injak hanyalah pasir. Warga setempat juga terbiasa tidak mengenakan alas kaki, karena pasir putih yang menghampar memang terlihat bersih. Justru ketika menggunakan alas kaki, sebenarnya kaki menjadi lebih berat ketika melangkah. Dalam beberapa hari pertama, kami mencoba melakukan assessment untuk mendapat gambaran umum kondisi geografis maupun sosiologis dari masyarakat kampung Meos Bekwan. Assesment  yang kami lakukan tidak lain adalah sebuah bentuk perkenalan awal kami dengan para warga agar terbina suasana yang akrab. Dalam assessment tersebut, yang kami lakukan adalah mendatangi rumah – rumah warga satu persatu untuk berkenalan sekaligus menanyakan data-data dasar keluarga.

Kampung Meos Bekwan ini seratus persen dihuni oleh suku Biak. Nama pulau ini sendiri diambil dari bahasa biak, Meos Bekwan yang berarti pulau panjang ( meos : pulau, bekwan : panjang). Menurut informasi yang kami dapatkan dari salah satu penduduk, kata Biak pada suku biak pun berasal dari bahasa setempat, yaitu kata Biake, yang artinya muncul/timbul. Secara historis, menurut warga yang paling tua di pulau ini, Bapak Hengki Burdam Wakrei. Secara historis, pulau ini bukan pulau yang dihuni begitu saja, pulau ini adalah pulau yang ditemukan dan akhirnya dibeli. Pulau ini dibeli oleh 2 keturunan di atas Pak Hengki. Pulau ini dibeli dengan menggunakan sejumlah piring gantung. Piring gantung adalah barang yang sangat berharga bagi masyarakat papua, dan sampai saat ini piring gantung pun masih digunakan sebagai mas kawin. Semenjak saat itulah Meos Bekwan ini dihuni oleh manusia. Warga papua yang pertama menempati Meos Bekwan ini adalah suku biak yang berasal dari marga Burdam. Seluruh warga di kampung ini adalah satu keluarga, yaitu dari marga Burdam. Walaupun nantinya marga Burdam tersebut akan terbagi – bagi lagi dalam marga yang lebih kecil lagi. Agama Protestan masuk ke kampung ini sekitar tahun 1930an , sebelumnya masyarakat menganut kepercayaan memuja patung berbentuk naga. Dan menurut informasi dari Pak Hengki, patung tersebut sudah dibawa ke Belanda ketika Protestan dibawa masuk Belanda ke pulau ini. Dalam hal beribadah, masyakarat sangat patuh sekali. Setiap hari, pagi dan sore selalu ada ibadah persekutan bersama.

Pulau Meos Bekwan ini memang sesuai dengan namanya, bentuknya memanjang dengan ukuran kurang lebih 12 hektar, panjang 1200 m dan lebar 100 m.  Seluruh pulau ditutupi dengan pasir berwarna putih. Vegetasi yang paling banyak tumbuh di sini adalah pohon kelapa dan sukun. Tumbuhan lainnya sulit untuk tumbuh di sini dikarenakan kondisi tanah yang berupa pasir. Sayuran pun sulit untuk ditemui di sini. Tumbuhan lain yang tumbuh adalah papaya dan pisang. Untuk pisang, menurut pengakuan warga, tumbuh tetapi tidak sampai berbuah dan kemudian mati. Karena kondisi tanah yang sulit untuk ditumbuhi inilah yang menyebabkan masyakat tidak bisa mengonsumsi sayuran secara rutin. Konsumsi makanan warga terbatas pada makanan laut seperti ikan dan lola/bia (sejenis mollusca/kerang-kerangan), jika pun memasak sayuran, yang dimasak adalah daun papaya atau pepaya muda. Konsumsi susu atau pun telur juga merupakan hal yang jarang bagi masyarakat. Hal ini disebabkan karena harganya yang sangat mahal, begitu pula dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Harga yang tinggi tersebut dikarenakan jarak tempuh untuk mencapai Meos Bekwan sangat jauh dan akses transportasi yang tidak mudah.

Masyarakat di kampung ini memang jumlahnya tidak terlalu banyak. Menurut dari survei yang kami lakukan ke masing – masing rumah, kampung ini terdiri dari kurang lebih 45 kepala keluarga yang semuanya bermarga burdam. Akan tetapi, jumlah masyarakat sejumlah ini tentu bukanlah hal yang patut untuk tidak diberikan perhatian lebih. Hal khusus yang memprihatinkan adalah masalah pendidikan dan kesehatan, masalah yang lumrah di tanah air ini (tapi mau sampai kapan hal seperti menjadi permasalahan ? ). Untuk masalah kesehatan, kampung Meos Bekwan ini benar – benar tidak memiliki tenaga kesehatan terdidik yang ditempatkan. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai serta informasi kesehatan terbaru. Tempat pelayanan kesehatan sudah didirikan di kampung ini, yaitu berupa bangunan poliklinik desa serta rumah dokter yang permanen. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada petugas yang menetap di sana. Masalah kesehatan pun di sini tidak hanya terbatas pada pelayanan pengobatan tetapi juga mencakup informasi kesehatan, seperti gerakan makanan beragam dan sehat, kebiasaan hidup bersih, kesehatan ibu hamil dan menyusui, kesehatan balita dan anak, serta informasi – informasi terbaru mengenai kesehatan. Permasalahan kesehatan yang sering dikeluhkan adalah masalah penyakit rematik dan pada anak – anak yaitu flu yang berkepanjangan disertai batuk.

Sarana pendidikan yang tersedia di kampung ini adalah Sekolah Dasar YPK Elim, yang terdiri dari tiga kelas, tanpa UKS, ruang guru, dan tanpa perpustakaan. Ketika kami tiba, tambak sedang ada pembangunan tiga ruangan baru. Saat ini siswa kelas satu digabung dengan siswa kelas dua, begitu pula dengan kelas tiga dan empat serta lima dan enam. Selama di kampung Meos Bekwan kami mendirikan Rumah Kreatif, dengan menggunakan poliklinik desa yag tidak terpakai. Rumah Kreatif ini merupakan tempat yang diperuntukkan sebagai pusat berkumpul dan berkreativitas masyarakat kampung dari berbagai usia. Dari pengamatan kami di rumah kreatif tersebut, rata – rata anak – anak di sini kesulitan untuk membaca dengan lancar hingga kelas 4-5. Kemampuan membaca dengan lancar hanya dimiliki anak-anak dari kelas 6, sehingga buku-buku yang kami kami bawa dan kami letakkan di ruang baca rumah kreatif kebanyakan dibaca oleh para pemuda dan orang tua. Anak – anak hanya melihat –lihat gambar dalam buku dan lebih banyak menggambar dan bermain di rumah kreatif. Gambaran dari hal dasar seperti membaca ini merupakan catatan penting bagi pendidikan Indonesia. Pendidikan di daerah perbatasan seperti kampung Meos Bekwan ini masih  membutuhkan perhatian lebih. Ketika keterampilan dasar dalam pendidikan formal seperti membaca masih belum diserap secara optimal oleh para siswa, maka bagaimana cara pendidikan tersebut disampaikan dan kontrol yang dilakukan perlu dipertanyakan. Akses yang sulit untuk sehingga sulit dijangkau menurut saya bukanlah alasan untuk tidak diperhatikannya pendidikan di sini. Daerah perbatasan justru bagian yang sangat penting bagi NKRI ini untuk segera dibenahi dan dibenahi perkembangannya. Hal ini dikarenakan sebagai wilayah perbatasan, wilayah ini adalah garda depan dari NKRI, jika garda terdepan tidak merasa pernah diperhatikan oleh negeri yang dibatasi olehnya, maka rasa cinta tanah air pun akan sulit untuk ditumbuhkan dan dijaga.

Mata pencaharian masyarakat benar-benar bergantung kepada hasil laut, mulai dari mencari ikan di laut, membuat ikan asin (masyarakat lokal menyebutnya ikan garam) dari ikan, gurita, dan lola, dan budidaya rumput laut. Masyarakat tidak bisa menjadikan pertanian atau perkebunan sebagai mata pencaharian karena kondisi tanah yang tidak memungkinkan. Kondisi tanah tersebut ternyata bisa diakali oleh beberapa warga dengan cara membawa tanah dari pulau lain untuk ditanami, akan tetapi tentu tanaman tersebut bukan ditujukan sebagai mata pencaharian tetapi sebagai pemenuhan kebutuhan keluarga, dan jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Walaupun masyarakat kampung Meos Bekwan perekonomiannya bertumpu pada hasil laut, masyarakat tidak mengeruk hasil laut sebanyak-banyaknya. Masyarakat saat ini sudah sadar pentingnya ekosistem laut. Wilayah laut sekitar pulau ini adalah wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah ( KKLD ) yang dikelola oleh Concervation International Indonesia (CII). Masyarakat menangkap ikan dengan cara ditombak, atau dalam bahasa setempat disebut molo (mencari ikan dengan menyelam dan menggunakan tombak). Ikan yang dicari pun dalam jumlah tertentu dan jenis tertentu sehingga tidak mengganggu kelestarian ekosistem laut. Hal yang patut disayangkan adalah harga jual ikan hasil tangkapan masyarakat masih rendah sekali. Padahal harga barang kebutuhan di sini sunggu tinggi. Masyarakat sendiri tidak bisa menangkap ikan dengan jumlah yang banyak karena terbatas pada cara penangkapan ikan yang sederhana dan terikat aturan konsevasi laut.

Untuk pelestarian spesies yang hidup di laut, masyarakat di sini memiliki kepercayaan tradisional/kearifan lokal yang disebut Sasi. Sasi ini adalah sebuah bentuk larangan untuk tidak menangkap spesies tertentu dari laut dalam jangka waktu tertentu. Sasi ini diberlakukan oleh gereja dan mulai diberlakukan ketika jumlah spesies tersebut sudah mulai berkurang dari biasanya, dan Sasi dihentikan ketka jumlahnya sudah kembali normal dan bisa untuk ditangkap tanpa mengganggu batas aman jumlah populasi. Sasi juga berlaku untuk tanaman ataupun keramba ikan milik warga. Sasi ini dipercaya memiliki karma bagi siapa yang melanggarnya.

Kebiasaan masyarakat yang paling unik adalah kebiasaan tidur di atas pasir. Masyarakat tidak tidur di kasur melainkan di pasir bersih yang diangkut dari pantai. Kebiasaan itu sudah berlangsung dari sejak lama. Kondisi cuaca yang panas di pulau ini memang sangat nyaman jika tidur di atas pasir putih, karena terasa sejuk. Tempat tidur pasir ini bahkan juga bisa ditemukan tidak hanya di dalam rumah warga, tetapi di halaman belakang rumah biasanya juga ada untuk tidur di waktu siang hari. Tidak heran jika setiap saat mungkin kita akan menjumpai warga yang berlumur pasir di tubuhnya. Seluruh daratan di pulau ini ditutupi pasir yang memiliki tekstur  yang sangat halus dan putih bersih benar – benar menjadi kunikan luar biasa di pulau ini. Hal unik lainnya adalah walaupun pulau ini sangat kecil dan sangat dekat dengan laut, sumber air tanah berupa sumur galian sama sekali tidak berasa asin. Kualitas air yang bagus inilah yang menyebabkan pulau ini tetap dihuni kehidupan manusia sampai saat ini.

Sebagai bagian dari kawasan Raja Ampat, tidak heran jika pulau ini memiliki panorama laut dan kondisi daratan yang indah, walaupun tempat ini bukanlah daerah tujuan wisata sampai saat ini. Akan tetapi bukan berarti kita hanya terpukau dan terfokus pada keindahan yang terhampar dan tentunya kita tidak boleh lupa bahwa di tempat ini dihuni warga negara Indonesia yang juga berhak mendapatkan hak-haknya seperti warga Indonesia lainnya. Di sini masih banyak yang harus kita semua benahi. Pulau ini sulit ditemukan dipeta Indonesia dan juga sulit ditemukan artikelnya di internet. Semoga tulisan ini bisa menyampaikan yang belum atau tak sempat diketahui oleh orang –orang yang peduli terhadap bangsa ini, terutama seputar kondisi wilayah perbatasan Indonesia khususnya Kampung Meos Bekwan-Raja Ampat.


[1] Dimuat dalam Penyusunan Rencana Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Raja Ampat yang dibuat oleh Unit Pelaksanaan Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II ( COREMAP II) Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat,  2007

[2] Dimuat dalam artikel online  Melestarikan Terumbu Karang Raja Ampat  kerjasama antara Coral Reef Rehabilitation and Management Program ( CRITIC)  dan COREMAP edisi 18 Desember 2006.  http://regional.coremap.or.id/raja_ampat/berita/article.php?id=493

About donaniagaradinata

Filsafat Universitas Indonesia , 2008.
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

3 Responses to Menuju Negeri Pasir Di Perbatasan Nusantara : Kampung Meos Bekwan, Raja Ampat , oleh Dona Niagara Dinata,

  1. Luar biasa. Terima kasih atas artikelnya.

Leave a comment